Monday, June 27, 2011

Pahit-Manis Pilihan ELAINE (Kompas Urban Sunday 26 Jun 2011)



Pahit-Manis Pilihan ELAINE

Dari tangannya lahir fruit tart, kue yang kesohor di antara warga Indonesia di Boston, AS. Dari tangannya juga, lahir sebuah kedai pastry di Jakarta. Toh, semua itu hanya jalan untuk menopang kerja utamanya: membangun pendidikan bagi anak-anak miskin.

Cappuccino panas, fruit tart, dan carrot cake menjadi menu pembuka obrolan pagi itu. Elaine Marlene (24), pemilik sekaligus chef di kafe Bittersweet Corner, menunjuk pada deretan kue yang ada di balik lemari kaca. Ada macaroon, lemon tart, aneka cupcakes, caramel tart. ”Saya sendiri yang memanggang semua kue ini tadi pagi,” kata perempuan cantik berperawakan tinggi semampai ini.

Elaine tak pernah kursus, apalagi sekolah membuat kue. Bakatnya itu muncul tiba-tiba di waktu yang tak terduga. Awalnya, ia prihatin melihat teman-teman kuliahnya di Boston menghabiskan uang yang cukup banyak untuk katering sebuah pertemuan. ”Mereka menghabiskan ratusan dollar untuk sebotol wine. Sungguh pemborosan. Akhirnya saya menawarkan diri untuk membuatkan kue buat mereka,” katanya.

Di kamar kosnya, Elaine memiliki oven kecil. Setelah mencari resep di internet, ia nekat membuat kue. Ia modifikasi resep yang dibacanya, menambah ini dan itu, sampai cocok dengan lidahnya. ”Pastry sebaiknya tidak terlalu manis. Dan untuk racikan yang menggunakan cream cheese sebaiknya dipadukan dengan buah-buahan yang agak asam, seperti stroberi, kiwi, atau blueberry. Saya juga coba berulang-ulang bagaimana agar dasar kue tidak lembek, tapi tetap crispy. Ternyata kue buatan saya itu banyak yang suka, dan mereka langsung memesan lagi,” katanya.

Dari mulut ke mulut popularitas fruit tart buatan Elaine sampai di komunitas Indonesia di Boston. ”Dalam waktu sebulan, lebih dari 150 warga Indonesia di sana sudah tahu kue saya,” katanya.

Tapi, bagi Elaine, bukan soal kepopuleran kuenya yang penting. Yang lebih utama ialah apa yang bisa dia lakukan dengan hobinya itu. ”Saya selalu katakan kepada teman-teman bahwa satu atau dua dollar itu matters untuk anak-anak miskin di Indonesia, terutama untuk pendidikan mereka. Saya ingin menggabungkan hobi memanggang ini dengan charity,” katanya.

Bersama beberapa sahabatnya, ia kemudian mendirikan Greater Indonesian Future Through Sponsorships (GIFTS) di Boston. ”Kami banyak mengadakan acara, entah itu bentuknya entertainment atau party, atau sekadar pertemuan. Kami tidak meminta uang kepada mereka, tetapi mereka membayar untuk hidangannya. Uang yang kami peroleh semuanya kami sumbangkan untuk anak-anak di Indonesia. Begitu seterusnya,” kata Elaine yang harus membagi waktunya dengan ketat antara kuliah, membuat kue, dan pekerjaan paruh waktu.

”Saya tahu bahwa saya di sana untuk sekolah, jadi kuliah tetap prioritas. Tapi kalau antara tidur dan memanggang kue, ya saya prioritaskan kuenya, karena saya tidak enak kalau tidak bisa memenuhi permintaan pemesan. Jadi, saya biasa memanggang dari malam sampai jam 3 pagi,” katanya.

Kalau membuat kue hanya sekadar hobi, maka pekerjaan sampingannya adalah menjadi fashion buyer dari produk-produk berlabel internasional. Ini pun ada latar belakangnya. Lulus dari Jakarta International School, Elaine tidak langsung daftar ke universitas. Ia ingin bekerja dulu selama satu tahun di Indonesia. Jadilah ia mengajar bahasa Inggris, bekerja di beberapa butik kelas atas di Jakarta dengan aneka jabatan. Mulai dari mengorganisasi pertemuan antara pembeli dan suppliers, menjadi sales marketing, membuat profil perusahaan, website, fashion stylist, sampai menjadi humas.

”Lewat pengalaman bekerja di Indonesia itulah saya menjadi buyer sejumlah brand, terutama untuk pakaian dalam dan tidur. Setiap hari Sabtu-Minggu, saya naik bis ke New York untuk bertemu langsung dengan para brand representatives, seperti dari Oscar de la Renta, Betsy Johnson, dan lain-lain,” kata Elaine yang melewatkan sekolah dasar di Singapura dan sekolah menengah di Amerika.

Semua untuk yayasan

Setelah lulus dari Northeastern University (dengan GPA 3,6) tahun 2010, teman-temannya menganjurkan Elaine untuk tetap meneruskan hobinya membuat kue. Berkat bantuan temannya, sebulan kemudian ia telah menemukan tempat yang strategis di Plaza Indonesia. Berdirilah gerai Bittersweet Corner.

”Modalnya dari tabungan saya, bukan dari orangtua. Saya kerjakan semua sendiri, mulai dari desain, membuat website, profil perusahaan, pemasaran, pengadaan barang, sampai membuat kue. Jadi, setiap hari saya bangun pukul 05.00 pagi untuk memanggang kue-kue yang dijual di sini,” katanya.

Tapi, lagi-lagi ini hanya hobi. ”Pekerjaan utama saya adalah di Yayasan Pansophia Indonesia, saya di sini full time,” kata Elaine, yang menjadi humas sekaligus mengurus operasional di yayasan tersebut. Pansophia Indonesia merupakan organisasi nirlaba yang mengupayakan agar anak-anak miskin bisa menikmati pendidikan yang layak di usia emasnya.

”Kami mendirikan sekolah di Dadap, Cikarang, dan di Karang Tengah, khusus untuk anak-anak yang berusia 3-5 tahun dengan fasilitas pendidikan yang baik. Semuanya gratis. Mereka memperoleh makan dua kali sehari, seragam, sepatu, dan perlengkapan sekolah,” kata Elaine yang awalnya sempat menjadi guru bahasa Inggris di sana.

Sekolah ini diterima dengan positif oleh komunitas Dadap. ”Banyak ibu yang tidak ingin anaknya lulus dari sekolah ini karena mereka sudah melihat perubahan positif pada perilaku anaknya sehari-hari,” kata Elaine.

Kini, ia mencoba mengembangkan sistem ”anak asuh” untuk membiayai anak-anak di Dadap agar bisa lebih banyak lagi yang belajar di sekolah itu. ”Biaya per anak sekitar Rp 300.000 per bulan, jadi kita mencari orangtua asuh yang berminat untuk menjadi donor selama sebulan, dua bulan, setahun, tergantung kemampuan. Saat ini sudah ada 35 orangtua asuh. Sedangkan murid kami ada 100 orang di dadap dan 20 orang di Karang Tengah,” katanya.

Bukan hanya itu, dengan jaringan pergaulannya yang luas, Elaine juga ingin merintis kerja sama dengan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum pelayanan sosial (community service). ”Para anak-anak SMA itu bisa menjadi sukarelawan di sini. Sewaktu kuliah dulu saya mengikuti program Big Sisters-Big Brothers. Kita memiliki semacam adik asuh. Tidak harus selalu membantu sebagai tutor pelajaran, kadang yang dibutuhkan adalah bagaimana memperkuat self-esteem mereka. Saya ingin mengembangkan program seperti itu di sini,” katanya.

Di usianya yang belia, Elaine telah tahu apa yang ingin dilakukannya bagi dirinya dan bagi masyarakat di sekitarnya. Dia langsung berbuat, tanpa harus banyak bicara....

-------------
p.s: many thanks for such lovely front page review from Kompas. We apologise for not updating our blogger but we shall attempt to do when we are not busy baking and serving lovely treats to you guys! :)